Pendidikan merupakan kewajiban bangsa, orangtua maupun agama. Mendidik atau pedagogi (bahasa Yunani, pais = anak, agoo = membimbing) berarti membimbing anak menjadi orang dewasa yang lengkap manusiawi. Dari bodoh menjadi pandai. Dari tidak bisa apa-apa menjadi bisa apa-apa. Dari tergantung menjadi mandiri. Dari malas menjadi rajin. Dari tidak bisa menjadi pandai mencari kehidupan sendiri. Dari tertutup menjadi terbuka. Dari kuper (kurang pergaulan) menjadi pandai adaptasi dan kerjasama. Dari egois mendasi sosial. Dari suka menuntut menjadi suka melayani. Dari perminta-minta menjadi penyumbang. Dari beban masyarakat menjadi penopang masyarakat. Dan dari tidak bermanfaat menjadi sangat berjasa bagi orang lain.

Bangsa berkepentingan dalam pendidikan warganya, sebab individu merupakan pembentuk dan fondamen bangsa. Kalau fondamennya bagaikan batu karang maka bangsa menjadi kuat, tetapi kalau warga berkualitas pasir maka hancurlah bangsa itu. Dengan pendidikan yang benar, bangsa membangun diri dan warganya, tapi pendidikan yang salah menghancurkan seluruh bangsa.

Orangtua bersama bangsa memberi pendidikan yang benar kepada anak, tidak hanya otaknya menjadi pandai dan tangannya bisa apa-apa saja, tetapi juga hatinya (rohaninya) menjadi tajam dan tangguh. Sekolah yang hanya mendidik otak dan tangan anak agar menjadi hebat secara individual bahkan menjadi pemenang atas banyak orang lain tetapi tanpa pendidikan rohani dan sosial, dia menghasilkan warga berkualitas “pasir” yang tidak bisa untuk membangun baik rumah tangga pribadi maupun bangsa yang kokoh.

Sekurang-kurangnya ada tiga aspek dari hati (jiwa dan rohani) anak yang perlu dididik.

  1. Kemampuan “melihat” yang tidak terlihat mata jasmani serta mata rasio dan kemampuan “merasakan” yang tak terasa oleh fisik. Mampu “melihat” segi positif & negatif dari tiap hal, tiap orang & tiap peristiwa, dan tiap penderitaan. Mampu menangkap makna isyarat-gelagat-gejala-firasat-pralambang. Mampu melihat hubungan aku-engkau-mereka-kita sebagai satu keluarga Allah. Mampu “melihat” di dalam diri, kekuatan rohani (kasih dan doa) yang bisa mengalahkan kejahatan dan mengubah dunia.
  2. Kemampuan motivasi intern atau power of will, untuk bertindak berdasarkan keputusan pribadi yang berprinsip kebenaran dan kebaikan (bagaimana baiknya) mengalahkan motivasi ekstern (manis-pahit, enak-tidak-enak, suka-tidak-suka) yang berprinsip kenikmatan (pleasure principle, bagaimana enaknya) serta prinsip kehidupan jasmani (bodily life principle).
  3. Kemampuan kasih dan jiwa sosial yakni kekuatan rohani untuk menderita, mau rugi dan berkorban diri demi kebahagiaan orang lain dan masyarakat.

RD B. JustisiantoGereja Katolik lebih paham mengenai (a) makna pendidikan beserta tiga aspek pendidikan hati (jiwa) tersebut, serta mengenai (b) kelemahan masyarakat yang ering hanya mengandalkan kekuatan rasio, fisik, kekuasaan, dan harta saja. Maka Gereja Katolik mendapat panggilan dan tanggung jawab yang lebih besar untuk ikut mendidik bangsa manusia.

Ini pula kelebihan dan panggilan orangtua Katolik dan sekolah-sekolah Katolik sebagai perpanjangan tangan Gereja Katolik. Mereka seringkali nampak sederhana sekali dibandingkan orangtua lain dan sekolah lain, menjalankan pendidikan yang tidak dijalankan oleh masyarakat. Goal pendidikan mereka, selain harus menghasilkan anak-anak yang pandai, juga anak-anak yang mempunyai kemampuan rohani, dan kemampuan sosial-kemasyarakatan.

oleh: RD. Justisianto